ISLAM NUSANTARA : ISI LAMA DALAM BOTOL BARU
nu.or.id . Ist |
Oleh M. Kholid Syeirazi
Saya tidak heran kalau orang-orang salafi, baik hijazi maupun ikhwani menolak Islam Nusantara karena sejak dari sono-nya mereka menolak NU dan menggolangkannya sebagai ahlul bid’ah. Saya juga tidak heran kalau orang-orang Masyumi dan keturunannya mencela Islam Nusantara karena sejak dulu kita memilih berada di satu rumah tetapi beda kamar. Yang saya takjub itu orang NU yang ikut latah menolak Islam Nusantara gara-gara opini orang yang salah paham atau pahamnya salah.
Islam Nusantara itu ya Islam NU itu, Islam Ahlussunnah wal Jama’ah an-Nahdliyah! Itu seperti isi lama dalam botol baru. Tidak ada yang berubah. Basis teologinya sama, Asy’ariyah. Madzhab fiqihnya Syafi’i. Pandangan tasawufnya ikut Junaid al-Baghdadi dan al-Ghazali. Gampangnya, Islam Nusantara itu Islam yang diamalkan dalam wadah budaya Nusantara, sebagaimana sudah dijalankan NU selama ini.
Nalarnya tidak usah dibikin rumit. Islam itu agama. Sifatnya universal, lintas ruang dan waktu. Manusia itu temporal-partikular, terikat ruang waktu dan waktu. Dia makhluk berbudaya. Begitu agama yang universal itu diamalkan oleh manusia yang partikular, ekspresinya beragam, sesuai dengan wadah budayanya.
Islam yang diamalkan di Arab tentu punya karakteristik berbeda dengan Islam yang diamalkan di Persia, Cina, dan Jawa. Perbedaannya di tingkat cabang (furû’), bukan pokok (ushûl). Yang pokok bersifat universal, tidak berubah atau diubah, untuk selamanya.
Syahadat ya syahadatain, tidak boleh ditambah atau dikurangi. Shalat subuh ya dua raka’at, tidak boleh ditambah atau dikurangi. Soal pakai Qunut, itu persoalan cabang karena kita mengikuti Syafi’i. Dan perlu diingat, Imam Syafi’i itu orang Arab keturunan Qura’isy yang lahir di Palestina, karena itu pandangan-pandangannya sangat Arabis.
Soal shalat, misalnya, sudah pasti Imam Syafi’i mewajibkan shalat dalam bahasa Arab. Tidak sah shalat selain dalam bahasa Arab karena pedomannya qath’i: صلوا كما رايتموني اصلي. Ini berbeda dengan Imam Hanafi yang orang Persia. Dalam sebuah qaul, Imam Hanafi membolehkan shalat dalam bahasa Persia, meski yang utama pakai bahasa Arab. Jadi tidak masuk akal tudingan pencela NU yang bilang Islam Nusantara itu anti-Arab.
Nabi kita orang Arab dan NU sangat ta’dzim kepada habaib keturunan Nabi. Shalat kita pakai bahasa Arab. Tidak pernah ada bahtsul masâ’il di NU yang membolehkan shalat pakai bahasa Jawa. Bahkan nama-nama keluarga santri NU hampir rata-rata nama Arab, termasuk saya. Rasanya tidak mantap kalau santri NU tidak pakai nama Arab.
Lucunya, pencela NU yang bilang Islam Nusantara itu anti-Arab, seringkali asal namanya sendiri justru nama Nusantara yang kemudian “di-Arab-Arabkan,” pakai ganti nama atau ditambah embel Abu-Abi atau Ummu-Ummi. Masih soal shalat, orang Arab pakai jubah dan umamah (surban udeng-udeng), kita pakai batik dan kopiah. Itulah Islam Nusantara. Sebelum shalat puji-pujian, setelah shalat dzikir bareng dan mushafahah. Itulah Islam Nusantara. Nabi tidak mengajarkannya, tetapi juga tidak melarangnya.
Soal zakat, kita jalankan zakat, tetapi objeknya tidak sama dengan orang Arab. Orang Arab zakat fitrah pakai kurma atau gandum, kita pakai beras. Itulah Islam Nusantara.
Soal puasa, kita sama-sama tidak makan-minum dan jima’ dari subuh sampai maghrib. Tidak ada NU mengajarkan puasa ngebleng, puasa semalam suntuk karena Nabi tidak mengajarkannya. Tetapi soal menu buka puasa, orang Arab pakai kurma, kita kolak pisang. Itulah Islam Nusantara. Lepas bulan puasa, kita halal bi halal, didahului acara mudik kolosal. Itulah Islam Nusantara.
Soal haji, kita sama-sama pergi ke Arab, tidak ke Parung. Tetapi, soal dulu Nabi ke Makkah pakai unta atau kuda dan kita sekarang terbang pakai pesawat, itu soal teknis dan sama sekali bukan bid’ah.
Orang Arab tidak punya budaya slametan. rang Jawa hobi ‘cangkruk’, slametan yang isinya keplek dan nenggak miras. Walisongo datang, slametannya dipertahankan, tetapi isinya diganti tahlil dan shalawat. Keplek dan mirasnya diganti berkat. Namanya tahlilan. Itulah Islam Nusantara.
Orang Arab itu egaliter. Memanggil Nabi yang mulia tidak ada bedanya dengan memanggil penggembala domba, “Ya Muhammad.” Orang Jawa punya budaya unggah-ungguh, stratanya canggih dan rumit. ‘Njangkar’ alias manggil orang mulia apa adanya itu saru alias tabu. Ada embel-embel Ngarso Ndalem, Sinuhun, dan seterusnya. Karena itu, orang Arab shalawatnya cukup pakai redaksi اللهم صل على محمد, orang NU ditambah kata Sayyidina (سيدنا). Itulah Islam Nusantara.
Jadi Islam Nusantara itu bukan barang baru, itu soal ganti casing. Kalau ada yang ingin dipertegas dari Islam Nusantara adalah pandangan politiknya. Islam Nusantara itu pendukung sintesis Islam dan kebangsaan. NKRI final, titik. Tidak ada khilafah sebagai sistem politik. NKRI yang isinya pembangunan inklusif, ekonomi berdikari, dan minim ketimpangan, itu sudah Islami. Itu yang harus didorong. Tidak ada lagi membentuk Negara Islam.
Manifestasi Islam Nusantara itu bukan hanya dalam fikrah dîniyah (agama), tetapi juga siyâsiyah (politik) dan iqtishâdiyah (ekonomi). Fikrah diniyah-nya tawassuth, fikrah siyâsiyah-nya NKRI, fikrah iqtishadiyah-nya ekonomi konstusi. Jadilah Negara Kesejahteraan Pancasila. Inilah tema Kongres II ISNU yang Insyaallah digelar di Bandung, 24-26 Agustus 2018 mendatang bertajuk Pembangunan Inklusif dan Islam Nusantara Menyongsong Se-Abad Indonesia sebagai Negara Kesejahteraan Pancasila.
Inti gagasan ini sederhana, kita ingin membangun Indonesia berdasarkan agama. Artinya kita tidak ingin membentuk Indonesia sebagai negara sekuler. Tetapi agama seperti apa yang ingin kita tegakkan? Agama yang ramah, toleran, inklusif, yang menunjang Pembangunan Indonesia, bukan Pembangunan di Indonesia. Tentu ada beda antara pembangunan Indonesia dan pembangunan di Indonesia.
Pembangunan Indonesia merefleksikan bahwa pelaku dan penerima manfaat pembangunan adalah rakyat Indonesia. Sementara Pembangunan di Indonesia adalah pembangunan oleh siapa saja di Indonesia, tidak peduli siapa pelaku dan penerima manfaatnya. Karena Indonesia mayoritas muslim, agama di sini adalah Islam. Jadi Islam yang ingin kita tegakkan adalah Islam nasionalis, Islam inklusif yang mendukung pembangunan inklusif. Itulah Islam Nusantara.
Kalau kalian punya persepsi lain tentang Islam Nusantara, itu urusan kalian. Kami tidak mengurusi keyakinan orang lain. Kami hanya mengurusi keyakinan kami sendiri. Kami hanya ingin jadi umat Kanjeng Nabi Muhammad SAW dengan segala ekspresi kami sebagai orang Jawa, orang Sunda, orang Minang, orang Dayak, orang Bugis, orang Melayu, dan lain-lain.
Kalau kalian menganggap ber-Islam harus sama atau semakin dekat dengan budaya Arab, silakan saja, asal kalian menghormati tempat bumi berpijak, Indonesia dan tidak berencana merusaknya. Indonesia dengan segala warna-warninya adalah anugerah bagi kita semua.
*** Penulis adalah Sekretaris Jenderal Pimpinan Pusat Ikatan Sarjana Nahdlatul Ulama.
Leave a Comment