Cerpen : Ramadhan, Rindu bersama Guru
Oleh : PECANDU SASTRA
Ramadhan kali ini merupakan tahun kelima Azzam dan Gurunya Ilham tidak bersama. Menikmati momen bulan suci Ramadhan dalam satu forum dan satu atap. Terhitung kurang lebih lima puluh sembilan bulan, delapan belas hari keduanya tidak lagi bersatu. Sejak empat tahun lalu berpisah sebab kesibukan masing-masing.
Begitu cepat waktu berlalu. Masih
teringat kenangan Azzam bersama guru yang ia pnggil Papa, ke mana-mana selalu
bersama. Sosok yang menjadi penyemangat dan inspirasi dalam hidup, terlebih
sejak Bapaknya berpulang ke rahmatullah.
Terlebih, ketika Ramadhan yang hingga
kini menjadi paling spesial dan berkesan baginya, karena hal itu tidak akan
mungkin terjadi dan terulang kembali. Masih teringat begitu jelas dan indah
kala itu. Azzam yang selalu mencuri waktu untuk selalu berjama’ah, bahkan ada
suatu ketika di mana Pak Ilham memintanya untuk membantu berdzikir atas suatu
masalah yang sedang menerpa.
Kala itu, ada seorang yang menebar
fitnah dan menjelek-jelekan Pak Ilham, sebab masalah sepele organisasi.
Suatu hal yang membuatnya kagum dengan sosok Pak Ilham, taat kala beliau
difitnah, dengan santai dan kalem, beliau tidak membalas perbuatan tersebut,
melainkan berdzikir dan meminta petunjuk serta bantuan pada Allah.
“Kak,” tutur Pak Ilham menatap Azzam
dengan teduh matanya.
Azzam yang kala itu tidak mengerti
hal apa yang ingin beliau sampaikan, terdiam. Menanti kalimat lanjutan dari
bibir gurunya itu.
Tak lama kemudian, ia kembali
bertutur. –“Maukah kakak bantu Papa?” ujarnya dengan nada lirih.
“Tentu, selagi itu bisa, mengapa
tidak,” jawab anak itu.
“Ada apa dengan Papa,” gumam Azzam
membatin. Tak biasa beliau memintaku dengan cara begini.
Pak Ilham terdiam beberapa waktu.
Lalu, kembali bicara.
“Setelah sahur nanti, jangan tidur
ya?” tuturnya.
“Ada apa Pa?” tanya Azzam dengan
penuh penasaran.
“Papa minta nanti setelah shalat
subuh, kau bacakan surah Al-Ikhlas seribu kali untuk Papa,” pintanya.
Mendengar hal tersebut, Azzam kaget.
Seribu kali bukanlah hal yang sangat mudah baginya, apalagi berdzikir dalam
kondisi perut kenyang. –“Yakin, mataku bisa melawan kantuk?” gumamnya.
“Sebanyak itu?” tanya Azzam kembali.
–“Untuk apa dzikir ini Pa?”
Lelaki itu hanya berkata,
satu-satunya jalan agar ia tidak membalas fitnah sebagaimana dilakukan seorang
kawannya itu ialah dengan berdzikir kepada Allah. Dengan begitu ia meyakini,
insyaallah akan menemukan titik terang dari masalah tersebut.
Sebagai seorang asisten yang
mengidolakan sosok beliau, tentu hal itu harus kulakukan. Berat memang, tapi
Alhamdulillah Azzam bisa konsisten melakukan hal itu hingga tujuh hari
berturut-turut setiap ba’da subuh.
Baginya, Pak Ilham bukan hanya
menjadi sahabat yang ia dapatkan di tanah rantau. Melainkan orang tua kedua
yang Allah kirim untuknya bercermin. Sebab itulah mengapa ia banyak
menurut terhadap apa yang gurunya itu arahkan. Hal itu pula yang menjadikan Pak
Ilham sangat sayang terhadap dirinya, sebagaimana sayangnya terhadap anak-anak.
Banyak hal yang menjadi kenangan
selain itu, momen sahur dan berbuka bareng dengan penuh kesederhanaan. Tarawih
bareng di pesantren sembari silaturahim, dan masih banyak lagi.
Namun kini hal itu hanyalah kenangan yang hanya mampu ia kenang.
Tahun ini menjadi tahun yang sangat
sulit bagi Azzam, selain situasi pandemi karena Covid-19, juga tahun ini tidak
ada lagi sosok-sosok penyemangat yang ia idolakan. Bapak, Papa, kedunya telah
berpulang dengan tenang menghadap sang ilahi.
Kepulangan Papa beberapa bulan lalu,
menjadi akhir perjalanan rindu yang lama. Biasanya setiap dua hari sekali ia
menyempatkan membuka sosial media; baik itu facebook, instagram, ataupun
twitter. Hanya untuk melihat kabar dari beliau. Beliau sangat aktif bermedia
sosial, menulis puisi, sajak, dan kata motivasi yang menjadi asupan semangat
bagi Azzam.
Kini rutinitas itu tak akan pernah
lagi terulang. Ia benar-benar rindu dibuatnya.
Yang paling terparah, kepulangan
Papanya setelah setahun lebih mereka tidak saling berjumpa, tak bertatap muka,
juga tidak saling memberi kabar. Terakhir kali keduanya saling menyuguhkan
senyuman di sebuah konferensi dua tahun lalu, hanya itu. Tak
ada komunikasi lanjut.
Pak Ilham tersenyum sembari
mengangguk dan mengedipkan kedua mata setelah Azzam melempar senyum
dan melayangkan sebuah doa dalam batin “semoga Allah menjaga kita dalam
baik-baik saja”.
Dunia kita kini berbeda, namun cinta
dan sayang itu sama sekali tidak berubah, masih terasa. Bahkan sejak Azzam berpisah
empat tahun lalu, masih sering ia menaruh nama gurunya itu dalam untaian doa.
Begitu pula ia masih sering merasakan doa-doa hadir untuknya.
Lima hari sebelum idul fitri lalu,
Azzam menunaikan hajatnya, sebagaimana doa-doa yang ia lantunkan sejak awal
Ramadhan datang. Ia ingin kembali berziarah ke makam guru sastra yang juga
orang tua asuhnya, setelah usai menziarahi makam Bapak.
Kedua matanya tidak bisa membendung
percikan air mata kerinduan yang sejak ia memasuki area pemakaman, menggumpal
memenuhi sudut-sudut mata.
“Pa, tenang di surga-Nya Allah,”
gumam Azzam lirih, usai membaca dzikir dan tahlil untuk Papanya.
“Doakan kami, anak-anakmu agar dapat
melanjutkan perjuangan dan ilmu yang Papa berikan,”
Banyak hal yang ia tanamkan sebagai
pedoman hidupnya. Motivasi dan nasihat yang hingga kini masih ia terapkan dalam
hidupnya.
Suatu ketika gurunya itu pernah
berkata, jika nanti ia bekerja dan punya penghasilan, maka jangan lupakan
sedekah, sebab sebagian rejeki yang didapatkan ada pula rejeki orang lain di
dalamnya. Satu hal yang menjadi kunci semangatnya ialah; Optimis bisa! Kata
yang ia yakini sebagai kunci meraih impian yang diberikan sosok idola. “Di mana
pun kau berada, kau akan tetap hidup. Kuncinya optimis!”
“Tenang di Surga Pa. Kendati kita
tidak lagi bersama, selagi Allah memberikan kesempatan, insyaallah doaku tak
akan terjeda,” ucap Azzam meninggalkan makam.
Baginya, balas budi yang baik bagi
seorang guru dan orang yang telah banyak berjasa ialah doa.
BACA JUGA : Usai Pada Kata Pisah
Lihat Cerpen Lainnya di
>>>KLIK<<<
***
Pecandu Sastra merupakan penulis asal Lampung. Berdarah Lampung dan menyukai
segala sesuatu yang berwarna biru dan hijau. Suka ngopi, puisi, dan menulis.
Nongkrong di NU Online, NU Online Lampung, Mading.id, dan Berita Baru. Ia bisa
dihubungi melalui instagram (@itsme1disisi)
--------------------------------------------------------------------------------
Note : Bagi saudara-saudari yang ingin tulisannya dipublikasikan pada "Gemilang Total", bisa dikirim ke redaksi di pecandusastra96@gmail.com . Dengan syarat warta; memenuhi komponen 5 w + 1 h. Untuk Opini, Essai, Puisi, Cerpen, dan lainnya syarat utama harus karya orisinil (bukan plagiat).
Leave a Comment