Majelis Penuh Cinta
The story of Cinta Untuk Syech. Part 01 "Majelis Penuh Cinta"
Oleh : Senja Jingga Purnama (@pecandusastra96)
"Mahar... Mahar..."
”Dasar anak bujang, kemana saja sejak tadi tidak kelihatan batang hidungnya."
"Hei. Mahar. Bangun!!! Bangun!!!," teriak Mama membangunkanku dari balik pintu kamar.
Sontak aku dibuat kaget oleh suara bising mama yang sedari tadi membangunkanku. Lelah sore ini benar-benar menghakimiku, aku terpaksa terlelap tak berdaya dalam balutan dunia mimpi yang entah-berantah. Suasana pulau kapuk membuatku terlelap kaku tak sadarkan diri. Memang sedari pagi aku menghabiskan waktu untuk rewang di pesantren Deen Salam milik abah Nur Ikhsan. Putra beliau Gus Rayyan beberapa pekan lalu telah usai melaksanakan akad nikah (walimatul ursyi) dengan wanita pilihannya, dan esok adalah perayaan/resepsi pernikahannya yang akan dilaksanakan di alun-alun pesantren Deen Salam.
Sebagaimana kegiatan rutinan yang telah terjadwal dan terorganisir sejak awal berdirinya pesantren, yang telah menjadi ciri khas utama, yang mana pada setiap pekan kedua tepatnya hari Ahad setiap awal bulan diadakan majelis rutinan, maka resepsi pernikahan Gus Rayyan berlangsung sama dengan rutinan bulanan Deen Salam. Hanya saja majelis yang biasanya dilaksanakan pagi hingga siang hari dimulai lebih cepat yakni usai ba'da sholat isya atau pada malam Ahad. Sebab pada hari Ahad akan berlangsung resepsi secara penuh.
Beranjak bangkitku dari ranjang tempat tidur, kulihat jam yang terpampang dikamar yang bergambarkan club bola favorit (Barcelona) menunjukkan pukul 18.15 wib. Begitu lama aku terlelap hingga maghrib tiba bahkan melewatkan waktu sholat asar. Segeraku beranjak menuju kamar mandi untuk bersih diri lalu melaksanakan sholat yang tertinggal sebab ketiduran. Usai sholat aku berkemas menggunakan pakaian terbaik yang rapi untuk segera mengikuti majelis rutinan dengan penuh khidmat.
Dengan mengenakan jas polos hitam yang terbordir logo kuning emas yang mencentreng pada bagian dada sebelah kiri, sebuah organisasi Islam terbesar di Indonesia yang aku banggakan, yakni Nahdlatul Ulama (NU), begitu pula dengan songkok yang aku kenakan pada kepala dengan ukuran enam yang terbordir sama pada sebelah kanan, logo NU berwarna hijau dengan paduan kuning emas pada bintangnya, serta bersarung ala santri pesantren.
Angin malam ini begitu dingin, merasuk dan mencabik-cabik hingga tulang berulang. Tak biasa suasana berubah-ubah tak seperti sebagaimana malam-malam yang lalu. Mungkin ini sebab oleh cuaca pancaroba.
"Permisi. Bolehkan aku duduk disini," ucapku kepada seorang anak sembari menunjuk salah satu bangku yang kosong disamlingnya.
"Mari Mas. Lagi pula belum ada yang menempati kursinya," jawabnya dengan senyum.
Bening mata yang bersinar tajam dengan tatapan yang membuat sekujur tubuhku menjadi kaku. Pernapasanku mulai berantakan tak karuan alur mudiknya, tak biasanya aku gugup seperti ini. Tanganku mulai berkeringat. Hal yang sering terjadi saat aku gugup dan kaku. Mimpi apa aku semalam tuhan? Mengapa aku tiba-tiba berubah menjadi gugup macam jni. Diakan seorang anak kecil. Atau jangan-jangan ini faktor sebab aku belum makan malam. Ah tidak mungkin, aku kan begitu lahap makan malam tadi. Hanya saja terburu-buru sebab waktu yang begitu mepet dikarenakan terlelap dengan nyenyak kealam mimpi yang menghambat semua.
"Sampean kenapa mas?" tegurnya sembari melukis senyum pada bibir mungil yang ia lemparkan padaku.
"Ah tak apa-apa dik. Hanya teringat sesuatu dirumah," jawabku ngeles.
"By the way aku kedepan dulu ya. Minta tolong kursinya di jaga, jangan sampai diambil orang lain ya hehe,"
"Yaelah mas santai saja, kursi mah banyak. Dibagian belakang tapi,"
Seperti biasa setiap kegiatan aku harus punya dokumentasi. Biasalah orang yang sok sibuk hehe. Ya biasalah tugas dari media center ya seperti ini. Penting atau enggak semua harus di dokumentasikan, masalah nanti dipakai atau tidak itu urusan belakang.
"Oya dik. Sedari tadi kita belum saling kenal,"
"Namaku Muhammad Arkan mas. Sampean bisa panggil Arkan. Aku siswa baru disini, duduk di bangku kelas satu madrasah tsanawiyah di Pesantren Deen Salam ini.
"Arkan rumahnya dimana?"
"Ada kak tinggal rumahnya,"
"Hahaha kamu lucu juga ya Arkan. Aku kira kamu pendiam. Maksudku Arkan berasal dari kota mana?"
"Simpang empat, Blambangan mas,"
"Melewati simpang tiga yang tetangganya simpang lima?" tambahku guyon menyeimbangi Arkan yang sedari tadi buat aku tertawa geli.
Sudah sebulan penuh usai penerimaan siswa baru di Madrasah, aku baru beberapa kali tatap muka dengan anak murid baru. Dan aku baru sadar dan paham hari ini bahwasanya ada siswaku yang bernama Arkan adalah dia. Sebelumnya memang Arkan menjadi bahan tanya dalam pikiranku, entah namanya tak lagi asing ditelinga hanya saja aku belum memahami yang mana itu Arkan. Bahkan aku baru menyadari bahwa Arkan berasal dari kota yang sama, dimana selama empat tahun lamanya bergelut dengan buku dan waktu, berdaptasi dengan lingkungan baru yang sangat awam bagiku. Butuh waktu beberapa pekan untuk menyesuaikan diri. Jadi teringat masa awal menginjakkan kaki di Bumi Ramik Ragom (Beragam) yang dikenal sebagai negeri beribu air terjun, sebab disini begitu banyak sekali air terjun yang indah dan memukau mata. Begitu cepat wakru berlalu.
"Mas. Sampean namanya siapa?"
"Ya ampun, sangking asyiknya kita aku jadi lupa kasih tahu namaku,"
"Aku Maharani, kamu bisa panggil kang Mahar, atau kakak Mahar, atau Puan (panggilan Lampung),"
"Baik mas,"
Malam semakin larut, pertemuan ini seolah tak lagi asing bagiku. Kok aku merasa (dejavu) ¹ ya. Aku merasa ini bukan pertemuan pertama kalinya, sebab kita seperti sudah saling kenal. Tak menyangka bertemu dengan murid dikelas yang ngegemesin seperti ini, dan yang lebih parah lagi aku baru tahu kalau dia yang selama ini menjadi tanya dalam pikiranku. Padahal sudah sebulan lebih kegiatan belajar mengajar di Madrasah berlangsung. Aku juga baru ngeh (paham) jikalau Arkan satu kota dengan kota tempatku menyelesaikan pendidikan menengah atas.
Arkan yang menjadi tanya dalam benakku ternyata mahluk tuhan yang mungil dengan mata sipit dan memiliki senyum manis yang indah. Hal yang membuat aku senang kalau melihat ia tersenyum, sebab dengan melihat ia tersenyum sebagaimana yang ia berikan padaku, aku merasa lebih semangat. Sukunya pun sama denganku, Lampung. Ya, aku sih tidak pernah membeda-bedakan orang, mau warna kulitnya, bahasa, suku, agama, ras, ataupun golongan dan pemahamannya. Bagiku siapapun yang baik dalam bersikap dan berperilaku terhadap kita dan bisa menempatkan kita secara baik, serta bisa menghargai juga menghormati kita selayaknya manusia biasa, itu adalah bagian dari sahabat juga keluargaku. Meski kita bukan saudara yang sedarah maupun saudara dari saudara-saudara yang lainnya, ya setidaknya kita masih memiliki ikatan saudara dari keturunan nabi adam.
*******
Jam menunjukkan pukul 22.15 wib. Suasana udara malam bertambah dingin bahkan merasuk sampai relung sum-sum tulang, namun tidak juga membuat kantuk para jama'ah yang hadir pada majelis. Inilah berkah yang begitu barokah dari sebuah majelis, selain mendapatkan siraman rohani kita jyga dihibur dengan lantunan-lantunan merdu para perindu Rasulullah SAW melalui syair sholawat yang indah.
Kulihat mata Arkan mulai sayu, berkedip lesu menahan kantuk. Aku merasa iba padanya, kutawarkan ia untuk terlelapeski sejenak didekatku.
"Kasihan sekali kau nak," gumamku.
"Arkan. Kalau kau mengantuk tidur saja, nanti kakak bangunkan jika sudah selesai acaranya,"
"Iya mas. Terima kasih,"
Arkan sangat lelah. Mungkin ia belum terbiasa dengan berbagai aktivitas dan kegiatan yang padat di pesantren. Aku rasa ia juga tidak terbiasa bermalam-malam sampai larut seperti ini. Tapi aku sangat salut pada Arkan, meskipun masih duduk di bangku Madrasah ia begitu bersemangat di pesantren. Oleh sebab itu aku tawarkan ia untuk tidur disampingku, diatas tumpukan kaki dikeramaian majelis. Namun ia menolak, mungkin sebab kita belum akrab. Ia lebih memilih untuk bersandar pada pundakku.
Entahlah aku tiba-tiba merasa sayang padanya. Seakan ia bagai malaikat kecil yang tuhan titipkan untuk aku jaga. Hatiku merasa aman ketika berada di dekatnya.
Kenapa ya. Setiap aku berniat untuk resign dar madrasah ini, ada saja yang membuatku tetap bertahan. Akhir ini aku tidak lagi bersemangat mengabdikan diri. Selain banyak peristiwa aneh yang aku alami, serta masalah-masalah yang menghampiri yang membuat hatiku ingin mundur dan meninggalkan semua. Namun selalu saja gagal dan tidak bisa. Selalu saja ada alasan yang mengharuskan aku untuk tetap bertahan ditempat yang sama. Terlebih pada beberapa pekan ini. Aku memang jarang muncul di madrasah. Selain lagi bad mood , ditambah jadwal baru perkuliahan yang lumayan pada dan organisasi yang menyita banyak waktu.
Dia datang. Hadir dalam kegelapan, membawa secerca cahaya. Menebar api semangat yang mulai padam.
"Arkan. Mari bangun, sudah larut malam," tegurnya membangunkan Arkan.
"Sudah selesaikan acaranya mas?"
"Sudah."
Satu persatu jama'ah pergi halu lalang meninggalkan majelis. Ada pula yang sibuk mengambil gambar dengan background benner tiga kali empat meter yang terpasang pada panggung utama. Ada juga yang masih bersua bersama para sanak saudara dan para tamu yang dipertemukan di majelis, sebagian ada yang bersua dengan anak-anaknya.
"Mas. Sampean bermalam disini?"
"Kurang paham dik. Mama juga ikut kesini,"
Sebenarnya aku ingin bermalam di asrama bersama anak-anak. Biasa setiap ada kegiatan di Deen Salam aku selalu bermalam bersama anak-anak. Sanda gurau bersama, ya hitung-hitung menghibur mereka agar tidak bosan dan lelah dengan suasana di pesantren. Namun malam ini aku putuskan untuk tidak bermalam di asrama, sebab dirumah ada Mama. Beliau baru sampai siang hari tadi. Sengaja aku minta Mama untuk hadir, jauh-jauh dari kota, sudah dua bulan tak bertatap muka dengan beliau. Sejak ditinggal ayah pergi ke Rahmatullah aku lebih sering rindu dengan mama. Banyak curhat kepada beliau tentang apa saja yang aku alami; baik dunia kerja maupun lainnya. Beliau adalah obat yang paling ampuh dari segala sakit bagiku.
Aku adalah anak rantau, yang jauh dari perkotaan. Jauh dari sanak saudara dan orang tua. Berada di Bumi Ramik Ragom sejak lulus sekolah menengah pertama di pertengahan tahun 2012 lalu. Dengan impian lanjut disekolah ternama dan gratis. Alhamdulillah semua bisa terkabul meski harus jauh dan meninggalkan keluarga. Dan kenapa aku bisa sampai berada di pesantren Deen Salam. Semua sebab organisasi yang aku tekuni.
Aku kenal Deen Salam sejak pertengahan 2016, dimana aku ditunjuk sebagai ketua pelaksana sebuah kegiatan edukasi bagi para pelajar yang baru menyelesaikan study di bangku putih abu dan akan melanjutkan ke jenjang perguruan tinggi. Pada saat itu kegiatan berlangsung sebulan penuh di pesantren yang membuatku mengenal semua dan dikenal baik oleh abah Nur Ikhsan. Usai kegiatan tersebut aku diminta abah untuk membantu kegiatan belajar mengajar di madrasah, pada saat itu aku belum ada kesibukan oleh sebab itu aku mengiyakan dan menerima tawaran tersebut. Alhasil sampai kini masih tetap di madrasah dan mengenal anak-anak.
Berbicara latar belakang pendidikan, aku akui belum seberapa menguasai. Oleh sebab itu aku lanjut ke jenjang perguruan tinggi.
"Jadi sampean tidak bermalam disini mas?" tutur Arkan dengan tatapan penuh harap.
"Lain kali ya dik. Nanti kakak usahakan,"
"Baik mas. Aku balik ke asrama ya,"
"Iya kan. Selamat beristirahat ya,"
"Sampai jumpa esok hari mas,"
"Siiiapp."
*******
Pagi-pagi sudah ramai saja di pesantren. Bukan sebab aktivitas yang padat seperti biasanya, memang hari ini ramai, undangan yang tersebar saja ratusan. Pagi ini aku mengenakan kemeja polos dengan warna dasar hijau muda yang dipadukan dengan kain songket khas Lampung berwarna jingga pada bagian pergelangan tangan, leher, dan sebagian pada bagian dada. Begitu demikian mama pun sama, sengaja aku ajak beliau untuk mengenakan pakian yang sama. Aku ingin terlihat mesra dan so sweet bersama beliau, sekalian memperkenalkan beliau kepada guru-guru madrasah yang nantinya turut hadir. Rindu saja dengan suasana sebagaimana di hari raya yang lalu, jarang-jarang bisa menikmati moment berdua dengan mama. Tidak lupa pula aku untuk selalu mengenakan peci hitam sebagai hiasan kepala, selain untuk melindungi uban-ubah yang semakin hari semakin bertambah, bagiku peci ini mampu menambah kharisma pada diri tersendiri. Bagian bawah pun lengkap dengan celana dasar hitam dan jam tangan yang ada dibagian sebelah kanan tangan menjadi pelengkapku di hari ini.
Hari semakin siang. Tidak juga aku menemukan bayang-bayang Arkan. Entah kemana saja ia pagi ini, padahal hampir seluruh santri yang bermukim di asrama hilir mudik lalu lalang di tengah alun-alun. Tidak juga nampak batang hidungnya.
"Afwan, ya Akhi. Apakah kamu melihat Arkan?" tanyaku kepada salah satu santri yang akrab aku sapa Nata.
"Arkan siswa madrah tsanawiyah?"
"Ya betul. Santri dari simpang empat!"
"Coba sampean ke asrama mas. Sepertinya ia tadi habis menangis."
"Baik. Syukron ya akhi,"
Usai mendapat kabat tersebut, segeraku bergegas menuju asrama putra yang tak jauh dari alun-alun. Apa gerangan yang membuat Arkan menangis?
"Selamat pagi Arkan," sapaku dari balik pintu kamar sembari tersenyum menghibur Arkan.
"Pagi mas. Sudah disini saja. Mari masuk," sambutnya.
Dari wajah Arkan, aku sama sekali tidak menemukan tanda-tanda yang menyimpulkan bahwasanya ia baru saja menangis. Ia begitu riang tersenyum menataoku. Namun, aku perhatikan dari sudut pandang matanya ada sesuatu yang ia sengaja sembunyikan dariku dan tak boleh aku tahu. Aku berusaha menggali informasi itu, namun ia selalu ngeles untuk bertutur kata yang jujur. Mungkin sebab kita belum begitu akrab.
"Kita ke alun-alun yuk kan. Sebentar lagi acaranya akan dimulai," ajakku.
"Sebentar mas, aku pakai almamater dulu,"
Sesampai di alun-alun kami duduk di taman mini, disamping kolam ikan yang isinya beragam. Kolam berukuran satu kali tujuh meter milik abah Ikhsan. Sembari menunggu kedua mempelai usai berdandan sebagaimana pengantin pada umumnya, yang akan duduk di singgasana menjadi raja dan ratu dalam sehari. Aku ajak Arkan dan rombingan tim hadroh juga beberapa santri yang akrab denganku, yang berada ditempat untuk bermain tebak-tebakan sembari guyon ringan. Hiduplah suasana canda gurau kami. Beberapa saat sebelum bubar untuk melaksanakan tugas dan tanggungjawab atas amanah yang telah diberikan kepada kami kemarin sebagai panitia resepsi pernikahan Gus Rayyan, aku menyempatkan untuk mengambil gambar bersama Arkan dengan sebuah kamera milikku yang dibantu oleh Nata. Siswa kelas tiga madrasah tsanawiyah yang sejak awal masuk asrama sudah akrab denganku.
Aku ikut dalam rombongan pengantin sebagai photografer, Nata dan kawan-kawan nya turut mengiringi sang pengantin dengan alunan irama indah hadroh. Sedangkan Arkan kembali pada tanggungjawab yang telah diberikan. Hingga siang hari tiba, aku menghabiskan waktu di langgung utama.
Kring!!!!
Kring!!!!
Suara ponsel berdering nyaring dari saku celanaku. Belum sempat aku jawab, panggilan telepon dari lonsel tersebut terdahulu putus. Kukihat ada sebuah pesan dari sahabat semasa bimbel dua tahun lalu. Kemarin, mereka memang sengaja aku undang untuk turut hadir disini. Satu bulan penuh kita tinggal di pesantren Deen Salam ini, menuntut ilmu bersama, baik akademik maupun non-akademik. Lagi pula Gus Rayyan juga oernah mengisi kajian malam tentang pendidikan pesantren dan Aswaja, sebagai materi tambahan saat bimbel.
Damara, Firman, dan Bahri. Tiga sekawan yang akrab sejak masa putih abu, Ketiga nya sama-sama ikut bimbel, sejak itu aku kenal dan akrab dengan mereka. Mereka bertiga rumahnya tak saling berjauhan, berbeda kampung namun tetap dalam satu kecamatan. Sama denganku, tak jarang aku bersilaturahmi kerumah mereka di kala waktu senggang, saat aku masih menetap di Blambangan terdahulu. Dan sekarang kami terpisahkan oleh jarak dan waktu.
Aku menetap di pesantren, mengabdi sembari kuliah di kampus lokal. Kampus dimana Firman menempuh pendidikan. Hanya saja lebih dahulu Firman berproses dibanding denganku. Kondisi ekonomilah yang mengatur semua, aku sih tidak masalah yang lenting ilmu yang didapatkan nanti barokah dan pastinya bermanfaat untuk semua.
Doni, ia telah sukses berkarier di salah satu kantor pemerintah, honor disana sembari kuliah juga. Dengar kabar ia mengambil jurusan hukum di Kotabumi. Sedangkan Bahri tinggal di kota, menempuh pendidikan disana. Ia mendapatkan beasiswa juga. Semiga kita sama-sama sukses ya bat dengan jalan yang kita pilih dan tentunya batas izin Allah.
Usai menyusul kwtiga sahabatku yang menunggu di beranda Masjid Baitul Makmur di alun-alun Pesantren Deen Salam. Aku melihat Arkan bersama kedua wanita dengan tubuh yang sedikit ramping dan tinggi, kedunya terlihat dewasa dan salah satu diantara kedua wanita tersebut adalah ibu-ibu. Keduanya belum ada yang aku kenal. Dengar-dengar salah satu diantara kedua wanita itu adalah ibu (orang tua) dari Arkan sendiri.
"Assalamualaikum," ucapku memecah suasana.
"Wa'akaikum sallam,"
Mata-mata wanita itu melirik kearahku. Aku merasa gugup dan sedikit malu untuk menegur.
"Eh mas Mahar. Sudah selesai motonya?" tegur Arkan menyapaku.
"Bekum dik, masih istiharat. Ada sahabat kakak dari Blambangan yang hadir, mereka ada disebalah sana," jawabku sembari menunjuk kearah tiga sahabatku yang asik bercerita di ujung sana.
"Wanita ini alakah ibumu dik?" bisikku malu dengan Arkan.
"Iya mas. Beliau yang memakai kebaya abu-abu, dan yang sebelahnya bibiku,"
"Salam kenal bu," tuturku sembari menjulurkan tangan untuk bersalaman dengan ibu Arkan.
Beliau mengangguk dan bertanya kepada Arkan. Beliau mengira aku adakah salah satu kawan Arkan di asrama. Bahkan aku dikira masih duduk di bangku Aliyah. Aku tersenyum mengiyakan saja. Namun Arkan meluruskan semua sembari mengenalkanku kepada ibundanya.
Tak banyak basa-basi, aku berkenalan singkat sembari mencium tangan ibu Arkan. Bekiau masih muda. Terlihat dari wajahnya tergambar bahwa bekiau adalah sosok ibu yang sangat sayang dengan anak-anak, pejuang yang tangguh. Tak banyak yang aku bicarakan dengan beliau, sebab aku tak ingin mengusik waktu kebersamaan antara Arkan dan ibunda. Apalagi aku dapat informasi bahwa Arkan menangis pagi tadi sebab ia rindu pada ibunya. Sangat wajar anak seperti Arkan merindukan ibu, aku dahulu pun sama. Baru sepekan jauh dari mama dan ayahanda, sudah rindu saja. Apalagi Arkan adalah sosok anak yang sangat akrab dengan ibu. Mungkin dilain waktu aku bisa bersua lebih banyak lagi dan akrab dengan sosok ibu Arkan.
Leave a Comment